Aku duduk termenung dalam sunyi, sepi. Ini malam hari. Inilah raja dari segala suasana, iya...suasana malam memang merajai segala-galanya, entahlah. Yang pasti aku menyukai suasana malam. Semua tenang, semua tentram walau dengan bisingnya kendaraan lalu lalang, atau suara penyanyi jalanan yang aku rasa semakin malam semakin merdu, atau karena aku saja yang terlalu menghayatinya??
Masih di pinggir jalan, disebuah angkringan tua. Sudah rapuh memang kayu penjaja makanan ini, sejalan dengan usia "simbah". Sejauh ini kesetiaanku kepada simbahku dan penyambung hidup kita masih sangat kuat, bahkan aku tak mau lepas dengan hal itu, simbah dan angkringannya.
Aku hidup berdua dengan simbah (mbah kakung-sebutan orang jawa terhadap kakeknya). Dari aku usia 3 tahun hingga kini aku berusia 21 tahun. Kata simbah, Ibu bapakku entah kemana, mereka pamit merantau saat aku berusia 3 tahun, tanpaku. Benar, aku dititipkan ke simbah oleh kedua orang tuaku dan hingga saat ini aku beranak dewasa mereka tak kembali, tak pernah kembali walau kabar saja aku dan simbah tak menerima sama sekali. Aku tak memiliki kakak atau adik (mungkin), sementara itu mbah putriku sudah tiada bahkan 5 bulan sebelum aku dilahirkan.
Sesak kurasa menjadi seorang mbah kakungku, ditinggal mati sang istri, kemudian anak serta menantunya. Pernah aku berkata, "mbah, maafkan ibu dan bapakku telah merepotkanmu dengan menitipkan ku disini tanpa ada tanggung jawab jangka panjang lagi". Dengan senyumnya yang kurasa lucu dia menjawab,"kamu ini ngomongnya kok kayak gitu, mbah malah bingung le, mau seperti apa nyampein kebahagiaan yang luar biasa ini karena di umur mbah yang sudah kepala 7 punya cucu segagah kamu, seganteng kamu, serajin kamu, sesayang kamu sama mbah" sambil tertawa kecil dengan lucunya. Demi Allah, lega luar biasa mendengar ucapan mbah seperti itu, semenjak itu, aku tak lagi menyinggung mengenai ibu bapakku lagi ke mbah kakung kecuali mbah kakung yang memulai.
Di suatu malam, di angkringan....
to be continue...
0 comments:
Post a Comment