Friday 28 March 2014

Malam di Angkringan Tua


Aku duduk termenung dalam sunyi, sepi. Ini malam hari. Inilah raja dari segala suasana, Ya, suasana malam memang merajai segala-galanya, entahlah. Yang pasti aku menyukai suasana malam. Semua tenang, semua tentram walau dengan bisingnya kendaraan lalu lalang, atau suara penyanyi jalanan yang aku rasa semakin malam semakin merdu, atau karena aku saja yang terlalu menghayatinya??
Masih di pinggir jalan, di sebuah angkringan tua. Sudah rapuh memang kayu penjaja makanan ini, sejalan dengan usia kakek. Sejauh ini kesetiaanku kepada kakekku dan penyambung hidup kita masih sangat kuat, bahkan aku tak mau lepas dengan hal itu, malam, kakek serta angkringan tuanya. Ada cinta disetiap malam diantara aku, kakek, serta angkringan ini. Sangat membahagiakan.
Aku hidup berdua dengan kakek. Dari aku usia 3 tahun hingga kini aku berusia 21 tahun. Kata kakek, Ibu bapakku pergi meninggalkan ku entah kemana, mereka pamit merantau saat aku berusia 3 tahun, tanpaku. Tanpa alamat tujuan rantauan mereka. Benar, aku dititipkan ke kakek oleh kedua orang tuaku dan hingga saat ini aku beranjak dewasa mereka tak kembali, tak pernah kembali walau kabar saja aku dan kakek tak menerima sama sekali. Aku tak memiliki kakak atau adik (mungkin), sementara itu nenekku sudah tiada bahkan 5 bulan sebelum aku dilahirkan.
Sesak kurasa menjadi seorang kakekku, ditinggal mati sang istri, kemudian anak serta menantunya. Pernah aku berkata, "Kek, maafkan ibu dan bapakku telah merepotkanmu dengan menitipkan ku disini tanpa ada tanggung jawab jangka panjang lagi". Dengan senyumnya yang kurasa lucu dia menjawab, "Kamu ini ngomongnya kok kayak gitu, aku malah bingung, mau seperti apa mengungkapkan kebahagiaan yang luar biasa ini karena di umurku yang sudah kepala 7 punya cucu segagah kamu, seganteng kamu, serajin kamu, sesayang kamu sama kakek". Demi Allah, lega luar biasa mendengar ucapannya seperti itu, semenjak itu, aku tak lagi menyinggung mengenai ibu bapakku lagi ke kakek kecuali dia yang memulainya sendiri.
Di suatu malam, di angkringan, "Jeruk anget  1." seorang perempuan setengah baya duduk di sudut angkringan. "Bikinkan jeruk anget satu, Mas", ujar kakekku menyuruhku untuk membuatkannya karena kebetulan dia sedang sibuk menghitung berapa tusuk sate yang akan didagangkannya malam ini. Ada yang aneh dengan raut muka kakekku menatap perempuan itu. Perempuan itu pun begitu.
Dan aku rasa, baru kali ini aku melihat ada seorang perempuan setengah baya mau duduk di angkringan tengah malam begini, sendirian pula. Ah, semua berhak kok. Segera ku buatkan jeruk hangat untuknya. Aku merasa dia memperhatikanku, saat aku membuatkan jeruk hangat untuknya.
"Ini jeruk angetnya mbak."
“Makasih mas.", katanya sambil tersenyum.
Dia manis, tapi dari raut mukanya dia sedang resah seperti sedang bermasalah. Terlihat dari sikapnya, yang sesekali salah tingkah, saat aku memergokinya tepat saat dia memperhatikanku. Dan saat itu juga dia langsung menyibukkan diri dengan sesekali menengok ke kanan, kiri dan belakang, sesekali juga ia melihat handphonenya. Dia pun makan 1 tusuk sate telur. Hingga 1 jam kemudian, semakin larut dan semakin banyak pembeli yang rata-rata laki-laki, ia pun mulai terasa terusik sepertinya, lantas ia berdiri sambil bertanya kepadaku, "berapa mas jeruk anget 1, sate telur 1 tusuk?".
"Empat ribu mbak", sambil ku terima uang Rp 10.000. Disaat aku mencari kembalian, aku beranikan untuk bertanya, "Apa kita pernah kenal sebelumnya?". Bukan jawaban yang ku dapat, melainkan hanya sebuah senyum kecil penuh tatapan haru.  Setelah ia mendapatkan uang kembaliannya, ia pun berjalan pergi. Jauh dan semakin jauh.
Sudah 3 kali perempuan itu menyambangi angkringan ini. Dan hanya seperti-seperti saja. Selalu ada raut muka gugup pada kakekku. Ada sorot mata yang selalu sama pada perempuan itu. Ada yang aku rasa janggal dengan semua ini.
"Ini pukul setengah sepuluh malam, dia perempuan , berjalan, dan sendirian", batinku sambil terus mengamati jalannya dari jauh. Siapa dia? Pertama kali bertemu saja membuat aku bertanya-tanya dan bahkan terngiang-ngiang hingga menjelang aku tidur dipukul 2 pagi ini. Andai malam berikutnya perempuan itu datang kembali, singgah di angkringan tua ini, aku akan...ah liahat besok.
04.55
Aku bangun lalu sholat subuh, entah mengapa aku menyisipkan do'a yang tak biasanya. Aku berdoa mengenai perempuan semalam, semoga dia menyinggahi angkringan kakek malam ini.
"Apa-apaan ini, siapa dia yang begitu lihainya berlari-lari dipikiranku", gumamku.
Pagi hari aku mulai aktivitasku sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci baju. Aku memang sudah mandiri. Maklum aku hanya hidup berdua dengan seorang kakek yang sudah tua renta.
Untuk sarapan, aku jarang melakukannya. Kecuali jika kakek sudah menyiapkan bubur atau soto di meja makan. Aku sering mendapati mbah kakung dengan sibuknya menyiapkan sarapan pagi untukku. Berkali-kali aku sampaikan, aku tak perlu sarapan pagi, tapi kata mbah kakung, "Buat tenaga, kalau kamu sakit aku sedih dan pasti bakal lebih repot dari ini, kamu mau??" Kalau sudah seperti itu, aku tak mampu menyanggahnya lagi.
Menjelang siang aku menimba ilmu disalah satu perguruan tinggi negeri ternama di kota ini, aku sudah semester 6. Dan ini semua berkat doa, dukungan serta beasiswa. Alhamdulillah. Ingin sekali segera menyelesaikan studi ku ini, agar cepat bekerja di perusahaan dan membuat mbah kakung pensiun dari angkringan tuanya.
"Ya Allah lamanya kuliah ini, ayolah cepat malam", isi pikiranku. Kusibukkan hari ini dengan menyelesaikan tugas-tugas kuliahku yang menumpuk. Dengan harapan, waktu lebih cepat berlalu. Malam pun datang, aku sangat bersemangat mempersiapkan dagangan angkringan bersama kakek.  Membutuhkan waktu  kira-kira 10 menit perjalanan menuju angkringan dari rumah. Dengan sigap aku merapikan dan menata dagangan di angkringan dengan sesekali menengok ke depan, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari perempuan tersebut.
Kakek menangkap raut resah di wajahku. “Menunggu siapa kamu, Mas?” “Kakek kenal perempuan yang beberapa hari yang lalu minum jeruk hangat disini, yang tengah malam itu?” Mendadak kakek menghentikan kegiatannya menata dagangannya seraya menelan ludah. Aku heran, seperti ada yang kakek sembunyikan dariku, mengenai perempuan itu.
Malam menunjukkan pukul 23.15, perempuan itu datang. Tapi dia hanya di seberang jalan. Dia memperhatikan angkringan ini. Oh, bukan. Dia memperhatikan kami. Aku dan kakek. Siapa dia? Dengan sigap aku menyebrang jalan untuk menemuinya. Tapi dia menghindar, dia berjalan mundur, mundur, mundur dan mulai berlari. Aku pun mengejarnya. Akhirnya tanganku pun mampu menggapai tangan kirinya. “Berhenti! Aku mohon berhenti. Siapa Anda? Apa aku, kakek, kamu ada hubungan yang mungkin aku belum mengerti?”
 Dia hanya sedikit menoleh kepadaku dan berkata, “Kamu anak baik, Nak. Ibu sayang kamu. Jaga baik-baik kakekmu.”
“Ibu??” bagai disambar petir, aku tak mampu bergerak sedikit pun sampai-sampai perempuan itu telah berlari jauh meninggalkannya.
Masih di seberang jalan, aku melihat kakekku terduduk lemas memperhatikanku. Aku menghampirinya. “Ibu sayang kamu, begitu kata perempuan itu. Ibu siapa kek, perempuan itu siapa? Ibu?”
“Nanti kita bicarakan di rumah” , jawab kakekku singkat sambil membangkitkan dirinya dari kursi.
Sesampainya di rumah, “Kek, aku tahu kakek lelah. Tapi aku mohon beri aku jawaban mengenai tadi.”
“Duduklah”
“Dia, perempuan itu, dia ibumu, Mas.”
“Apa??”
“Pernah dia menemuiku disaat kamu sedang tidak diangkringan, dia datang meminta maaf dan ingin sekali menemuimu. Aku marah, kemana dia selama ini. Dia memang sempat kaya raya, namun hanya sesaat karena ayahmu masih doyan berjudi. Dan pada akhirnya ibumu meninggalkan ayahmu dan kini ingin berusaha kembali kepada kita. Disatu sisi aku kecewa mempunyai anak seperti dia. Disatu sisi aku tak bisa memisahkan seorang anak terhadap ibunya. Kakek memutuskan agar dia sendiri yang berupaya menemuimu, aku tak mau membantunya.”
“Kakek, tolong maafkan anakmu itu, tolong maafkan Ibuku. Aku merindukannya, aku tetap menyanyanginya, mencintainya. Aku yakin ibu sedang membutuhkan aku, kakek juga. Bahkan aku juga masih membutuhkan seorang ibu, seperti anak lainnya. Maafkan dia kek, ijinkan ibu kembali di tengah-tengah kita.” Aku memohon dengan berlutut di depan kakekku. Kakek pun menitikkan air matanya. Dia tertunduk sambil mengusap kepalaku, “Kakek bangga memilikimu, kakek hanya takut kamu terluka melihat ibumu kembali begitu saja setelah sekian lama menyia-nyiakanmu. Kakek mau memaafkannya. Maafkan ibumu juga ya. Maafkan. Dia pasti datang kembali. Ajaklah dia kerumah. Bawa ibumu pulang.”
Pukul 2.00 pagi ini bahagia luar biasa aku rasakan dengan kakekku. Rasa-rasanya kita mendapatkan kembali harta berharga yang telah lama menghilang. Kita sepakat untuk melupakan kesalahan-kesalahan di masa lalu kemudian memperbaiki semuanya agar menjadi lebih baik dan membahagiakan. Aku luar biasa bangga dan tak menyangka memiliki kakek sehebat ini bersedia menyatukan cinta dan kasih seorang ibu dan anaknya, dengan mengenyampingkan egonya, sakit hatinya. Semua demi cinta diantara kita. Demi kebahagiaan bersama. Seseorang tak akan pernah gagal untuk berbahagia selagi ia punya cinta. Karena apa? Karena cinta tak kan pernah gagal.

2 comments:

bagus cerpennya, loh.
sayang, fontnya terlalu kecil menurutku, jadi kurang bisa dibaca. hehe
terus berkarya ya

Terima kasih.
Iya yaa..kekecilan. Copas dr word sih dan belum edit lg hehe

Post a Comment